MUSIUM SONOBUDOYO YOGYAKARTA



Museum Sonobudoyo

 


Pengantar

Sejarah Museum Negri Sonobudoyo:
Pada tahun 1919 Sebuah yayasan yang bergerak dibidang kebudayaan Jawa,Madura,Bali dan Lombok berdiri di Surakarta dengan nama Java institut.Dalam keputusan kongres tahun 1942 Java institut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta guna melestarikan benda-benda peninggalan bangsa Indonesia.Panitia pendirian museum di bentuk pada tahun 1931 dengan anggota Ir.Th.Kaisten,sitsen dan S.kopenberg.tahun 1934 panitia pendirian museum ini diberi wewenaang untuk menentukan lokasi serta corak arsitektur bangunannya.Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menghadiahkan tanah dan bangunan sebagai modal utama pendirian museum.Pada saat bersamaan panitia kecil mulai membangun pendopo kecil dengan sengkalan "buta Ngaisa Estining Lata".Sengkalan yang bermakna tahun 1865 Jawa bertepatan dengan tahun 1934 M.Museum Sonobudoyo dibuka secara resmi oleh Sri Sultan HB VIII 6 November 1935.Pembukaan bertepatan dengan tanggal kelahiran Sri sultan HB VII
DewasaPerorangan
Rp. 3.000,-
Dewasa Rombongan
Rp.2.500,-
Anak–anak Perorangan
Rp.2.500,-
Anak–anak Rombongan
Rp. 2.000,
Wisatawan Asing
Rp.5.000,-

Pergelaran Wayang Durasi Singkat
Rp. 20.000,- / 0rang

Selasa-Kamis
08.00 –14.00 WIB
Jumat
08.00 – 11.00 WIB
Sabtu & Minggu
08.00 –13.00 WIB
Senin dan hari besar atau libur nasional tutup

SEJARAH MUSEUM SONOBUDOYO

Museum Sonobudoyo terletak di bagian utara Alun-alun Utara dari Keraton Yogyakarta. Bangunan museum yang didesain oleh Ir Th Karsten ini berbentuk rumah joglo dengan diilhami arsitektur gaya bangunan Masjid Kasepuhan Cirebon. Pencetus berdirinya Museum Sonobudoyo adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok, yang bernama Java Institut. Pada tanggal 6 November 1935 yayasan yang waktu itu dipimpin oleh Prof. Dr. Huseun Djajaningrat mendirikan Museum Sonobudoyo atas restu dari Ng. D.S.D.I.S. Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VIII. Peresmiannya ditandai dengan Candrasengkala “Kayu Winayang Ing Brahma Buddha”.

Sebagai sebuah museum, Sonobudoyo masih berfungsi terus hingga saat ini, walaupun pengelolanya berganti-ganti. Pada saat Jepang berkuasa (1942), Museum Sonobudoyo dikelola oleh pemerintahan Jepang. Kemudian, sejak Jepang kalah hingga tahun 1949 museum ini dikelola oleh Dinas Wiyotoprojo. Tahun 1950-1973 dikelola oleh Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta. Namun, pada tanggal 11 Desember 1974, melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 693/0/1979, Museum Sonobudoyo diambilalih oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dan, saat ini Museum Negeri Sonobudoyo merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah pada Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, yang mempunyai fungsi pengelolaan benda museum yang memiliki nilai budaya ilmiah. Sedangkan, tugasnya adalah mengumpulkan, merawat, pengawetan, melaksanakan penelitian, pelayanan pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi.

Koleksi Museum Sonobudoyo

Museum Negeri Sonobudoyo ini tersimpan 10 Jenis Koleksi :
  1. Jenis Koleksi Geologika
  2. Jenis Koleksi Biologika
  3. Jenis Koleksi Ethnografkai
  4. Jenis Koeksi Arkeologi
  5. Jenis Koleksi Numismatika/ Heraldika
  6. Jenis Koleksi Historika
  7. Jenis Koleksi Filologika
  8. Jenis Koeksi Keramologika
  9. Jenis Koleksi Senirupa
Jenis Koleksi Teknologika
Sampai saat ini Museum Sonobudoyo memiliki 42.698 buah koleksi yang dibagi menjadi 10 kategori, yaitu: koleksi geologi, biologi, etnografi, arkeologika, historika, numismatika, filologika, keramologi, seni rupa, dan teknologika.

Benda-benda koleksi Museum Sonobudoyo itu ada yang dipamerkan di luar dan di dalam gedung. Koleksi yang dipamerkan di luar gedung museum umumnya terbuat dari batu yang relatif tahan terhadap cuaca, yang terdiri dari berbagai macam patung dari zaman kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, benda-benda kelengkapan upacara, serta bagian dan hiasan candi.

Sedangkan, benda-benda yang dipamerkan di dalam museum adalah benda-benda yang peka terhadap pengaruh cuaca, kotoran, cahaya dan bahkan serangga. Benda-benda itu umumnya dimasukkan ke dalam vitirin, guna melindunginya dari proses kerusakan. Benda-benda yang dipamerkan di dalam museum diantaranya adalah: (1) berbagai macam hasil karya seni yang terbuat dari kayu dan bambu, seperti topeng Jawa dan Bali, wayang golek, puluhan model perahu serta tandu (jempono) yang diantaranya adalah tandu lawak dari zaman Sultan Hamengku Buwono I, tandu Kyai Kudus, Kyai Purbonegoro, dan Kyai Wegono Putro; (2) berbagai macam jenis batik beserta peralatan pembuatnya; dan (3) benda-benda yang terbuat dari perunggu, emas, perak dan besi seperti, patung kuwera, genta dari Kalasan, lampu gantung berbentuk kenari serta seperangkat gamela Jawa dan Cirebon serta senjata (mandau, rencong dan keris). Sebagai catatan, Museum Sonobudoyo menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris yang sebagian besar merupakan sumbangan dari Java Institut dan sebuah wesi buddha, yang merupakan bahan baku pembuat keris yang digunakan sekitar tahun 700 Masehi.

Sebagai catatan pula, selain sebagai tempat untuk memamerkan benda-benda sejarah dan purbakala, Museum Negeri Sonobudoyo juga dilengkapi dengan dengan auditorium, laboratorium, preparasi, kantor dan perpustakaan dengan puluhan ribu judul buku, khususnya terbitan sebelum Perang Dunia II dalam berbagai bahasa. Di samping itu dapat pula dijumpai manuskrip (naskah tulisan tangan) berhuruf Jawa dan Arab.
Mengunjungi Museum Sonobudoyo adalah salah satu alternatif bila ingin melihat beragam koleksi keris dari penjuru nusantara dan benda-benda yang berkaitan dengannya. Museum yang menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris (sebagian besar merupakan sumbangan Java Institut) ini akan mengobati kekecewaan anda, sebab Kraton Yogyakarta yang menyimpan keris-keris pusaka hingga kini tak memperbolehkan pengunjung menikmati koleksinya.
Museum Sonobudoyo dapat dijangkau dengan mudah dari Kraton Yogyakarta, berada di seberang Alun Alun Utara Yogyakarta. Sementara, untuk melihat beragam koleksi keris, prosedurnya cukup sulit karena mesti meminta ijin pada pimpinan museum. Hal itu disebabkan karena banyak koleksi keris masih disimpan di ruang koleksi, belum ditampilkan untuk umum.

Museum Sonobudoyo dulu adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini berdiri di Surakarta pada tahun 1919 bernama Java Instituut. Dalam keputusan Konggres tahun 1924 Java Instituut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta. Pada tahun 1929 pengumpulan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura, Bali dan Lombok.
Panitia Perencana Pendirian Museum dibentuk pada tahun 1913 dengan anggota antara lain: Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg.

BANGUNAN MUSEUM SONOBUDOYO

Bangunan museum menggunakan tanah bekas “Shouten” tanah hadiah dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan ditandai dengan sengkalan candrasengkala “Buta ngrasa estining lata” yaitu tahun 1865 Jawa atau tahun 1934 Masehi. Sedangkan peresmian dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada hari Rabu wage pada tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa dengan ditandai candra sengkala “Kayu Kinayang Ing Brahmana Budha” yang berarti tahun Jawa atau tepatnya tanggal 6  Nopember 1935 tahun Masehi.
Pada masa pendudukan Jepang Museum Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial bagian pengajaran). Di jaman Kemerdekaan kemudian dikelola oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke Pemerintah Pusat / Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara langsung bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Otonomi Daerah. Museum Sonobudoyo mulai Januari 2001 bergabung pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY diusulkan menjadi UPTD Perda No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3 Agustus 2002 tentang pembentukan dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah dilingkungan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan SK Gubernur No. 161 / Th. 2002 Tgl. 4 Nopember tentang TU – Poksi.

Kejadian Pencurian di Museum Sonobudoyo
Pencurian benda purbakala kembali terjadi. Kali ini yang jadi sasaran adalah Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Sejumlah koleksi perhiasan emas kuno yang di simpan di museum itu hilang dicuri.

Sejumlah koleksi yang hilang diantaranya, satu buah perhiasan emas berbentuk bulan sabit, empat buah lempengan silhuette, satu buah topeng emas, satu buah lempeng emas, dua buah lempengan perak, 19 buah fragmen perhiasan.

Selanjutnya satu buah perhiasan berbentuk ular, satu buah patung Dewi Tara, satu buah patung Avalokiteswara, satu buah fragmen berlapis emas, enam buah kalung bandul motif binatang, lima buah kalung bandul motif buah, dua buah kalung untir, tiga buah kalung manik-manik, empat buah kalung bandul dan tiga buah bandul motif bulan sabit.

Puluhan perhiasan emas kuno yang dicuri itu berada di tempat penyimpanan di tiga almari kaca di Museum Sonobudoyo yang terletak di Jalan Trikora No 6 atau sekitar 50-an meter dari Simpang Empat Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Alun Alun Utara. Kasus pencurian itu sudah dilaporkan ke Poltabes Yogyakarta dan Polsek Gondomanan Yogyakarta.

"Benda koleksi yang hilang berada tiga almari kaca yang di ruangan koleksi emas," kata Kepala Unit Reskrim Polsektabes Gondomanan, Ipda Wahyu, di Mapolsek Gondomanan, Rabu (11/8/2010).

Saksi yang pertama kali mengetahui benda-benda itu hilang dicuri adalah karyawan museum, Bambang Suprayogi. Saat itu, Bambang melihat ada pecahan kaca di ruang kerjanya yang berdekatan dengan lokasi penyimpanan koleksi emas yang hilang.

"Dia kemudian mencari asal pecahan kaca ternyata dari almari kaca penyimpanan koleksi emas dan sejumlah koleksi emas kuno sudah hilang," ungkap Wahyu.













BENTENG VREDENBURG






SEJARAH
Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangun tahun 1765 oleh VOC di Yogyakarta selama masa kolonial VOC. Gedung bersejarah ini terletak di depan Gedung Agung (satu dari tujuh istana kepresidenan di Indonesia) dan Istana Sultan Yogyakarta Hadiningrat yang dinamakan Kraton. Benteng ini dibangun oleh VOC sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda kala itu. Benteng ini dikelilingi oleh sebuah parit yang masih bisa terlihat sampai sekarang.
Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya. Di masa lalu, tentara VOC dan juga Belanda sering berpatroli mengelilingi dindingnya.
Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia.















Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri Raja-raja Jawa pada waktu itu.
Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti adalah Nicolaas Harting yang menjabat sebagai Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouveurneur en Directuer van Javas noordkust) sejak bulan Maret 1754. Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Abdul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatullah I. Sedangkan Kasuhunan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III.















Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan HB I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titah tersebut segera dibuka hutan beringin dimana ditempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan HB I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta.
Selain sebagai Panglima Perang yang tangguh Sri Sultan HB I adalah juga seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755 dan pada hari Kamis Pahing 7 Oktober 1756 meski belum selesai secara sempurna Sultan dan keluarganya berkenan untuk menempatinya.
Setelah Kraton mulai ditempati kemudian beridiri pula bangunan-bangunan pendukung lainnya, misalnya bangunan kediaman Sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran yang selesai pada tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai pada tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan pada tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai pada tahun 1777. Dan akhirnya Bangsal Kencana selesai pada tahun 1792.














Melihat kemajuan yang sangat pesat akan pembangunan kraton yang didirikan Sri Sultan HB I menimbulkan rasa kekhawatiran pada pihak Belanda sehingga diajukanlah usul untuk membangun sebuah benteng disekitar wilayah kraton. Dalih yang digunakan adalah agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi maksud sesungguhnya Belanda adalah untuk memudahkan melakukan kontrol perkembangan yang terjadi di kraton. Hal ini bisa dilihat dari letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya menghadap ke jalan utama menuju kraton merupakan indikasi utama bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa beridirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda termasuk Sri Sultan HB I, oleh karena itu usulan pembangunan benteng dikabulkan.
Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang, pada tahun 1760, atas permintaan Belanda, Sri Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut sebagai seleka atau bastion yang menyerupai bentuk kura-kura dengan keempat kakinya. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaning (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).















Menurut Nicolas Harting, benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Temboknya terbuat dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren, sedangkan bangunan didalamnya terdiri atas bambu dan kaui dengan atap ilalang.
Ketika Nicolas Harting digantikan oleh W.H Ossenberch pada tahun 1765, diusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin keamanan. Usul tersebut dikabulkan dan selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Konstruksi-nya menggunakan semen merah, gamping, pasir dan batu bata. Menurut rencana pembangunannya akan selesai pada tahun itu juga tetapi pada kenyataannya proses pembangunan berjalan sangat lambat dan baru sel
esai pada tahun 1787, hal ini karena pada masa tersebut Sultan juga sedang giat-giatnya melakukan pembangunan Kraton Yogyakarta sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi untuk pembangunan kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Benteng Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan
Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merubuhkan bangunan-bangunan antara lain Gedung Residen, Tugu Pal Putih dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan lain. Seluruh bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Untuk Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai dibangun kembali, nama Benteng Rustenburg berganti menjadi Benteng Vredeburg yang artinya Benteng Perdamaian. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dan Belanda yang tidak saling menyerang pada waktu itu.















Bentuk benteng tetap seperti awal dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut seleka atau Sastion. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Didalamnya terdapat bangunan-bangunan seperti rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Penghuni benteng sendiri pada waktu itu mencapai 500 orang prajurit termasuk petugas medis dan para medis.
Pada masa pemerintahan Belanda, benteng ini juga memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta karena kantor residen letaknya berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.
Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia maka status kepemilikan Benteng Vredeburg juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal berdirinya benteng ini adalah milik Kraton walaupun dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC). Kebangkrutan VOC pada periode 1788-1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda) dibawah Gubernur Van Den Burg sampai ke pemerintahan Gubernur Daendels. Ketika Inggris berkuasa maka benteng dibawah penguasaan Gubernur Jenderal Raffles. Status benteng sempat kembali ke pemerintahan Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang di bulan Maret 1942.






















Pada tanggal 9 Agustus 1980 dengan persetujuan Sri Sultan HB IX Benteng Vredeburg dijadikan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan Budaya Nusantara dan pada tanggal 16 April 1985 dilakukan pemugaran untuk dijadikan Museum Perjuangan. Museum ini dibuka untuk umum pada tahun 1987. Tanggap 23 November 1992 Benteng Vredeburg resmi menjadi Museum Perjuangan NasionaL
Karena telah difungsikan sebagai museum modern, Benteng Vredeburg memiliki koleksi lengkap meliputi koleksi bangunan, koleksi realia, koleksi foto termasuk miniatur dan replika serta koleksi lukisan. Selain itu terdapat pula 4 ruang pameran minirama sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

TIKET MASUK
Dewasa: Rp 750.00
Anak-anak: Rp 250.00
Asing: Rp 750.00

FASILITAS
- Perpustakaan
- Ruang Pertunjukan
- Ruang Seminar, Diskusi, Pelatihan dan Pertemuan
- Audio Visual & Ruang Belajar Kelompok
- Hotspot gratis
- Pemandu
- Ruang Tamu
- Mushola
- Kamar mandi

KEGIATAN
Dialog, diskusi, pelatihan dan pertemuan.


ACARA SPESIAL
Pameran, pertunjukan, dan festival.

TIP & TRIK
Perhatikan barang bawaan Anda dan tetaplah bersama-sama dengan rombongan karena pihak museum tidak menyediakan alat pengeras suara untuk memanggil salah satu rombongan Anda.

Bila membawa kendaraan bermotor, pastikan Anda meninggalkannya dalam keadaan terkunci karena pihak keamanan dari museum tidak hanya berjaga di lokasi parkir tetapi juga bertugas untuk menjaga kompleks museum.